CERPEN KURNIA EFFENDI "3000 KAKI DIATAS BANDUNG"


Ia sengaja datang pagi-pagi ke kampus. Ingin segera mendapat FRS semester ganjil. Lalu, waktu yang tersisa dapat ia gunakan untuk melihal jadwal kegiatan Komite Pembelaan Mahasiswa, sebelum kembali ke Jakarta.

Ia melompati tangga gedung tiap dua tindak sekaligus, agar lekas tiba di ruang Tata Usaha dan memergoki senyum Ibu Azis yang ramah. Namun sebelum kakinya mencapai bordes, terdengar suara yang mengejutkannya.
“Katy!”
Gadis itu menoleh. Bukan karena panggilan yang didengarnya terlalu keras, melainkan seruan itu – rasanya – tidak sesuai dengan ruang dan waktu yang mendukungnya. Tapi ia yakin, keajaiban itu memang harus terjadi. Dia pasti bukan orang lain, pikirnya, kecuali…
“Ndra!” pekiknya, seperti turut terlempar semua isi hatinya yang seketika berwarna-warni.
Dengan mata bercahaya, Mahendra memburu Katy yang terpaku di tangga. Katy hampir tak percaya, tapi nyata. Pertemuan ini benar-benar bukan mimpi. Mereka berpelukan. Lama. masing-masing seperti menemukan kembali si anak hilang.
“Kamu masih kurus seperti dulu, Katy.”
Katy diam. Waktu terkadang memang tidak adil, pikirnya. Saya tak pernah berubah sejak menyalakan api unggun yang terakhir bersamamu di Suryakencana. Sementara kamu sudah begitu gagah. Ah, ke mana saja kamu menghilang selama ini? Katy merapatkan pipinya lebih erat.
“Berapa tahun kita tidak berjumpa?” bisik Mahendra di telinga Katy.
“Kita jangan menghitung waktu. Sekarang antar saya mengambil formulir perwalian. Habis itu ceritalah banyak-banyak!”
“Kamu yang mesti banyak bercerita, Katy. Terutama tentang negeri ayahmu, hingga kamu tiba-tiba sekolah di sini lagi. Apa yang mengubah keputusanmu? Kamu lebih mencintai Bandung daripada Moskwa?”
Mahendra melepaskan pelukannya. Katy mengangguk tak pasti. Lalu memutar tubuhnya sambil menggandeng tangan Mahendra. Pemuda itu mengikuti langkah cekatan di depannya. Bibir Katy tersenyum-senyum, tapi sepasang matanya basah. Hatinya begitu bahagia. Haru. Namun juga menyesal. Liburan tinggal beberapa hari lagi. Tak ada waktu untuk ke gunung lagi.
“Saya belum makan, Ka,” kata Mahendra ketika mereka turun ke halaman.
“Sama. Kita ngobrol di kantin pusat, ya?”
Berlarian mereka melintasi koridor student center. Kampus sudah ramai, meski baru pukul setengah sembilan. Padahal hari ini, kuliah belum dimulai. Seusai Penataran P4 bagi mahasiswa baru, masih tersisa waktu untuk mengisi daftar matakuliah yang hendak diambil.
“Katy…”
“Jangan ngomong dulu, sampai kita duduk dengan tenang.”
Keramaian di luar sedikit menular ke dalam kantin. Katy melihat Yudith dan beberapa anak Sipil lainnya  sedang tertawa-tawa di meja sudut. Mereka saling melempar senyum, juga lambaian tangan. Katy segera menarik tangan Mahendra, memilih sudut yang lain.
“Duduk yang manis. Saya akan pilihkan makanan kesukaanmu.” Katy bergegas memesan lontong kari. Dan kembali dengan sepiring melinjo manis, serta dua gelas susu coklat yang hangat.
“Ayo diminum! Ini perayaan pertemuan.” Katy mengangkat gelasnya lebih dulu. “Kamu dulu yang cerita.”
“Saya mesti ngomong apa?” Mahendra menggenggam tangan Katy. Mempermainkan jari-jemarinya. “Saya tidak punya kisah menarik. Perjalanan saya memang panjang, tapi melelahkan.”
“Memangnya ke mana saja?” Katy mengerutkan kening.
Mahendra menggeleng. “Pokoknya jauh.”
Katy menatapnya tanpa ingin percaya. “Apa sih yang sesungguhnya kamu cari?”
“Entahlah. Hanya pelarian. Saya ternyata tak dapat melupakanmu.”
“Jangan curang, Ndra! Kamu yang sengaja menghilang agar saya tak dapat menulis surat padamu, kan? Saya kehilangan jejakmu, sementara kamu tahu semua jejak saya. Buktinya kamu bisa mencari saya di sini. Saya suka bingung kalau berdoa. Untuk keselamatanmu atau arwahmu…”
“Katy! Jangan kurang ajar.” Diremasnya tangan Katy dengan gemas.
“Kamu yang kurang ajar,” balas Katy. “Siapa yang memberitahu saya di kampus ini?”
“Svetlana.”
“Svetlana? Bukankah dia di Canberra?” Tanya Katy heran.
“Ya. Kenapa?” Mahendra memainkan senyumnya.
“Kalian saling berkirim surat? Kalian mengucilkan saya!” Katy mulai marah. Matanya tegang.
“Tidak,” kata Mahendra tenang. “Kami tidak pernah saling menulissurat selama dua tahun terakhir ini.”
“Lantas?”
“Buat apa surat-suratan jika kami tinggal dalam satu asrama?”
“O, penjahat besar!” Katy terbelalak. Ibujari dan telunjuknya mencubit tangan Mahendra kuat-kuat. Entah perasaan apa yang mendorongnya. Antara merasa dipermainkan, jengkel, sedih, iri, tak percaya, dan macam-macam lagi; bergabung menjadi satu kekuatan.
Katy dapat membaca rasa sakit yang tertahan di wajah Mahendra. Sepasang matanya menyipit, tapi tak berani berteriak. Rupanya dia masih ingin suasana kantin tetap tenang. Mahendra hanya meringis. Justru mata Katy yang berkaca-kaca. Ia menyesal telah membuat lengan Mahendra membekas merah.
“Kamu puas, Ndra?” bisik Katy dengan tatapan putus asa. “Kamu puas telah membuat saya kesepian sepanjang tahun? Sementara kamu danLena bisa sering main ski bersama, lempar-lemparan bola salju sambil sesekali minum coke. Sedangkan saya? Oh, siapa yang telah melanggar janji? Siapa, Ndra?”
“Dengar dulu,” Mahendra pindah duduk ke sebelah Katy.
“Saya nggak mau dengar lagi!” Katy menelungkupkan kepalanya di meja beralas tangan dengan perasaan sedih.
“Katy, kamu tak pernah mengerti perasaan saya sesungguhnya.” Ucapan Mahendra terdengar melankolik. Katy sangat tidak suka.
“Kamu yang nggak pernah mengerti perasaan saya!”
“Kamu pikir saya tidak merasa kehilangan, ketika kamu mengatakan hendak ke Rusia setelah lulus SMP? Kamu kira saya tidak sedih ditinggal sahabat yang seperti bayangan sendiri? Saya mesti berbuat apa sesudah kamu pergi?”
Jemari Mahendra menyibak anak-anak rambut Katy yang jatuh di pelipis. Gadis itu terkenang waktu cowok itu  berbuat serupa, sekian tahun yang lalu. Tetapi sesudah itu dicemonginya pipi Katy dengan pasir basah. Sementara lidah ombak pantai Sanur menjilat-jilat punggung keduanya yang telentang sambil tertawa-tawa menghitung bintang.
Waktu itu mereka sengaja menyongsong matahari terbit, dengan begadang semalaman bersama bule-bule dari Swiss dan Prancis. Menjelang fajar, bibir Katy terasa capek ngomong bergenit-genit dengan mereka. Ia suka merasa jengkel sendiri kalau si Prancis tak juga menangkap apa yang diucapkannya dengan susah payah. Gila! Waktu itu, rasanya entah berapa abad yang silam, Katy memang keterlaluan. Liburan tiga hari digunakannya untuk lari dari Jakarta. Tanpa pamit. Gara-gara Mahendra punya SIM baru, dengan cara menambah usia. Membuat dia tidak ragu-ragu ngebut di Jalan Daendels. Untung pulangnya suasana rumah Katy sedang meriah. Papanya ulangtahun, dan mereka boleh menikmati kue tart tanpa dimarahi.
Tapi Mama masih usil menanyakan macam-macam, bahkan ketika Katy belum sempat membersihkan mentega dari pipinya. Bali itu jauh sekali dari sini, omelnya. Iya, Ma. Betul, kata hati Katy. Sehari lebih perjalanannya. Dan Katy bersyukur karena tiba-tiba datang interlokal dari Singaraja. Adik Mama. Menanyakan apakah Katy dan kawannya selamat tiba di Jakarta.
“Kemudian saya mencoba menutup kehilangan itu dengan menyibukkan diri, menghabiskan waktu di rumah Om Piet. Saya ingin belajar menembak. Saya ingin jadi penembak yang baik dalam asuhan Papa Lena. Tahu saya punya niat begitu, Lena ikut-ikutan belajar serius…”
“Dan Lena sangat manja padamu, kan?” potong Katy.
“Betul dugaanmu. Karena Om Piet demikian sayang kepada puteri tunggalnya, saya sering diminta untuk mengalah. Pada saat kami belajar bersama, saya harus sedikit menurunkan prestasi, agar Lenalebih banyak mengumpulkan angka. Meskipun terkadang Lena berharap saya berada jauh di atas kemampuannya membidik.”
“Kamu ikut ke Canberra juga gara-gara kemanjaannya?” tanya Katy, iri.
“Kesimpulannya begitu, tapi tidak persis demikian. Pokoknya sewaktu latihan kami dianggap memenuhi standar turnamen, kami diikutkan dalam pelatnas. Dan sempat mendampingi Clif untuk memperkuat timSea Games dalam nomor Air Rifle Match Junior. Itu usaha saya untuk melupakanmu, Katy. Setahun kemudian, bersama Lena, saya dikirim keAustralia untuk berbagai kompetisi di sana. Akhirnya Lena tak mau pulang ke Indonesia setelah jatuh cinta dengan universitas di Canberra. Setengah memaksa, dengan berbagai alasan, Om Piet meminta saya juga sekolah di sana.”
“Tapi kamu jahat! Tidak memberi kabar pada saya.”
“Saya…”
“Jangan mengatakan tidak tahu alamat saya. Seribu pucuk surat saya nggak pernah kamu balas. Apa sih maksudmu?”
“Dengar dulu, Katy…”
“Sebaiknya makan dulu deh.” Katy mendorong piring lontong kari ke depan Mahendra, yang satunya dihadapi sendiri. “Ayo, keburu dingin.”
Mahendra mengambil sendok. Menyuap dengan cepat, namun kelihatan selera makannya tidak setinggi ketika pertama kali menghirup aroma masakan yang merangsang itu. Di Aussie tentu tak pernah dijumpainya menu seperti ini. Tetapi suasana hati yang redup telah mengganggu nafsu makannya. Katy jadi ikut tak bersemangat.
“Teruskan ceritamu,” Katy menyentuh siku Mahendra. “Apa alasanmu tadi?”
“Saya tak pernah pulang ke asrama. Saya tinggal di rumah Om Piet.”
“Berapa jauhnya Jakarta Barat ke Kabayoran sih? Sombong betul, tidak mau mengambil surat-surat saya. Atau teman-temanmu di Mardi Siwi sedang membencimu hingga kamu enggan pulang?”
“Kamu tahu persis sifat saya, kan? Urakan! Berkali-kali ibu yayasan menjatuhkan skorsing kepada saya karena peraturannya saya langgar. Tentu saja saya malas pulang kalau hanya untuk menjalani hukuman.”
“Tapi, saya juga menulis surat untuk Lena. Kalau kamu memang bukan orang jahat, tentu kamu mencatat alamat saya. Semula saya pikir, ibu yayasan Mardi Siwi menyembunyikan surat-surat saya. Tapi rasanya tidak mungkin. Tiba-tiba saya malah merasa cemas. Salahkah jika saya menduga kamu telah dipanggil Tuhan? Meskipun sangat janggal kalauLena sampai merahasiakannya.” Katy menatap Mahendra lurus-lurus. “Kamu tahu? Saya sempat mengenakan pakaian hitam beberapa hari untuk sekadar berkabung.”
“Kamu pintar melucu,” Mahendra tersenyum.
“Endra! Kamu pikir saya main-main?” Katy jadi jengkel. Ia menyuap semakin lambat. “Rasanya, Lena juga keterlaluan. Ia tidak pernah menceritakan tentang kamu sedikit pun. Ia selalu mengelak pertanyaan saya perihal dirimu. Mengapa Lena bisa bersikap demikian?”
“Jangan salahkan dia, Katy.” Mahendra menatap wajah gadis itu hati-hati. “Saya yang memintanya agar tidak memberitahu keadaan saya.”
“O, Dear!” Katy terbelalak. Ia mendorong piringnya yang masih menyisakan beberapa potong lontong ke tengah meja. Sesaat ia merasa kehilangan nafsu makannya. Juga kata-kata. Hatinya mendidih kembali.
“Maaf, Katy…” bisik Mahendra mengandung rasa sesal.
Mata Katy terasa panas. Ia marah betul. Hatinya sakit. “Saya tak habis mengerti. Jika kamu membenci saya, mestinya kamu katakan terus-terang. Bukan dengan cara seperti ini. Dan kamu tidak perlu datang kemari.” Katy hendak bangkit dari kursinya, dengan rasa patah hati. Tapi tangan Mahendra menahannya.
“Sebentar, Katy. Saya mau bertanya. Kamu ingat buku Agatha Christie saya yang dulu kamu pinjam terakhir kali?”
“Apa hubungannya dengan pertengkaran kita?” tanya Katy sengit.
“Di dalamnya terselip kertas berisi tulisanmu untuk saya. Kamu pasti ingat kalimat yang hanya satu baris itu. Bahasa Rusia.”
“Bahasa Rusia? Apa?” Katy mengernyitkan alis. “Maksudmu: Ja tiby ali ay blion?”
“Nah, itulah sebenarnya yang menjadi awal seluruh kelakuan saya berikutnya. Kamu pasti memahami perasaan saya.”
“Itu bahasa salah satu daerah di sana. Kamu tahu artinya?” tanya Katy perlahan. Api di matanya lambat-laun padam. ”Saya sangat penasaran. Karenanya saya nekad berkali-kali ke Kedutaan Uni Soviet hanya untuk menanyakan arti kalimat itu. Dan saya merasa sangat takjub ketika mengerti terjemahannya.”
“Dan itu yang menyebabkan tidak sepucuk surat pun kamu tulis buat saya?” tanya Katy ironis, sambil mengusap matanya yang tiba-tiba basah.
“Tidak sesederhana itu tentunya. Kamu baru lulus SMP, masih suka bermain boneka panda, tiba-tiba bisa menyatakan cinta, eh, siapa yang tidak takjub? Seketika saya ingin berjumpa denganmu, ingin melihat apakah matamu jujur? Tapi sayang, kamu telah jauh di negeri Tirai Besi. Saya tidak berani mengharap kamu kembali. Buat apa bercinta dengan halaman surat? Saya patah hati. Meskipun kamu mengucapkan: Ja tibi ali ay blion berkali-kali dari balik dataran bersalju.”
Katy menghela nafas sepenuh dada. “Rupanya kamu lupa dengan janji di rumah Lena, juga ketika kita mengucapkan dalam perjalanan semalam suntuk mengelilingi Jakarta sebelum berpisah. Bahwa suatu saat, entah kapan, kita harus berkumpul kembali. Sebagai jembatannya, adalah surat-surat kita yang tak boleh putus. Tapi ternyata kamu ingkar janji. Kamu pikir, ikrar yang kita nyatakan itu sekadar kalimat romantik seperti dalam komik?”
“Saya tidak yakin kamu bakal pulang ke Indonesia.”
Jika terdengar, dalam hati Mahendra ada dinding yang runtuh. Sebuah penyesalan yang sangat dalam. Namun tak sedikit pun dia memiliki kemampuan untuk mengulangi masa silam, kecuali dengan angan-angannya. Itu pun tidak ingin sampai Katy mengetahuinya. Ditutupnya rapat-rapat rasa kecewa yang akan membuat ia lebih bersalah di mata Katy.
“Sebetulnya saya bukan seorang pemberani, meskipun telah berkali-kali naik gunung dan pergi ke Siantar sendirian.” Gadis itu berkata hampir tanpa nada. “Tetapi kamulah yang penakut. Tidak berani berdoa, berharap, apalagi menunggu. Mudah putus asa dan mengabaikan setiap kemungkinan.”
“Oke, itu saya akui, Katy. Lantas, sekarang mau apa? Toh kita sudah bertemu.” Mahendra menutup sendoknya di atas piring yang dipaksa kosong.
“Mau apa?” Mata Katy melebar dengan ujung pertanyaan meninggi. “Kalau kamu merasa bersalah, sudah tentu harus menerima kemarahan saya selama beberapa jam.”
“Boleh. Tapi saya mohon jangan sekarang. Kamu belum cerita apa-apa tentang dirimu selama berpisah.”
“Apa yang ingin kamu dengar?” Katy menghabiskan minumnya. “Kesan-kesan saya mengenai Lapangan Merah? KGB, atau cerita tentang kehidupan Kepala Polisi Rusia, Nikolai Shchelokov dalam Dnepropetrovsk Mafia? Upacara kematian Breznev? Sori, saya tidak mau mengulang-ulang cerita yang sudah saya tulis dalam surat-surat untukmu. Tak ada gunanya. Telingamu tidak akan mendengar dengan baik.”
“Saya berjanji…”
“Tidak,” potong Katy keras kepala.
Mahendra tersenyum. Didengarnya gadis itu melanjutkan kalimatnya yang menyimpan nada sakit hati.
“Kecuali janji menemani pulang ke Jakarta. Saya baru tiba dua hari yang lalu dari Siantar, terus ke Bandung. Belum sempat ngobrol dengan Mama. Ayo!”
“Saya berjanji tidak akan ke Jakarta sebelum kamu ajak jalan-jalan keliling kampus dan kota kesayanganmu. Kamu pantas bangga, gema ITB terdengar sampai ke kampus kami.”
“Kamu berolok-olok.”
“Tidak percaya?” kata Mahendra serius. “Datanglah sekali-sekali kesana untuk membuktikan.”
“Kapan kembali ke Canberra?”
“Kami baru saja libur. Masih lama…”
“Berarti…” Katy menatap curiga. “Svetlana juga di Indonesia?”
“Hm… ya.”
“Astaga, Ndra! Sudah berapa banyak dosamu? Kenapa tidak bilang dari tadi?” Katy merasa jengkel bukan main.
”Saya ingin membuat surprais,” Mahendra tersenyum tenang.
“Saya bisa bikin kejutan sendiri!” kata Katy kesal. “Pokoknya sekarang saya mesti segera pulang. Saya kangen Lena.” Katy mendorong kursinya. Ia melangkah tak perduli, namun terhenti pada ayunan ketiga, ketika mendengar suara Mahendra.
“Dia tidak di Jakarta.”
Kalau boleh dikatakan jahat, maka pandangan Katy saat itu nyaris sempurna, oleh perasaan yang teraduk-aduk.
“Lantas di mana?” tanyanya galak.
“Kita jalan-jalan dulu. Nanti malam kita bersama-sama menemuinya.” Mahendra mengucapkannya dengan lembut, tetapi mengandung semacam tekanan.
Katy merasa disandera oleh bujukan itu. “Dasar pemeras!” desisnya dengan gondok. Tetapi tak banyak protes ketika Mahendra menggandeng tangannya.
Di luar, matahari Kota Kembang menguapkan sisa-sisa embun pagi ke udara. Cahaya mencetak bayangan hanya separuh tinggi benda sebenarnya, melekatkannya ke aspal jalan kampus.
Katy dan Mahendra memulai langkah mereka ke barat. Mahendra ingin melihat semuanya. Dari laboratorium fisika ke metalurgi. Dari gedung baru yang kata kawan-kawan mirip labirin ke gedung serbaguna, melewati sisinya dan menuruni tangga beton di depan gedung Oktagon. Membelah jalan taman, mereka ke timur, memasuki serambi laboratorium struktur jurusan sipil sampai di depan Departemen Kimia.
“Ke mana kita?” Katy menawarkan. Tak bisa disangkal, memang ada rasa senang, tepatnya bangga, memperkenalkan sudut-sudut almamaternya.
Mahendra memilih ke kanan. Itu berarti akan melewati gedung kembar jurusan Teknologi Lingkungan, Biologi, Arsitektur, dan Seni Rupa. Lalu membelok ke Geodesi sesudah melihat seluruh studio seni dan desain, sampai ke teater Liga Film Mahasiswa. Sampai kaki mereka letih. Dan akhirnya tenggelam dalam ruang perpustakaan pusat. Di sana, Katy ingkar janji. Tanpa diminta lagi, ia tumpahkan kisah tiga tahunnya di Moskwa. Ia tuangkan seluruh dendam kerinduannya. Sampai tiba-tiba ingin sekolah lagi di Indonesia. Karena ternyata dia lebih mencintai tanah ibunya.
“Kita ke mana lagi?” tanya Katy begitu keluar dari masjid Salman.
Jawabannya adalah Bukit Dago, Museum Geologi, Taman Lalulintas, dan Yoghurt QQ. Ketika akhirnya seluruh senja mereka habiskan di sepanjang Jalan Braga dan Alun-alun Bandung, Katy ingat malam perpisahan dulu. Bertiga dengan Svetlana, mereka mengelilingi Jakartasampai pagi. Ngobrol berbusa-busa. Alangkah berat meninggalkan sahabat beribu-ribu mil. Laut dan musim memisahkan mereka. Dan kini…
“Saya sudah tidak sabar, Ndra. Ingin bertemu Lena,” rengek Katy.
“Ayo, kita cari mobil ke Lembang.”
“Lembang?”
“Di jalan menuju Ciater ada vila Om Piet yang baru, di utara Lembang. Kurang lebih tiga ribu kaki di atas Bandung.”
Aneh sekali, dalam perjalanan yang agak bertele-tele, perasaan Katy tidak tenteram, yang dalam banyak saat selalu memenjarakan jiwanya. Namun sesungguhnya itu semata-mata hanya usaha untuk menghibur diri, karena yang dirasakan lebih mencemaskan. Ada debar yang mengganggu jantungnya. Membuat percakapan tiba-tiba sering terhenti tanpa sebab. Hingga jarak yang mereka tempuh selesai. Kemudian gerimis pun turun. Halus sekali.
Dua ratus langkah dari tepi jalan, berdiri bangunan anggun yang hampir seluruh jendelanya membiaskan cahaya temaram lampu-lampu di dalamnya. Menampar permukaan beberapa pohon, yang daunnya jadi berkilat-kilat.
“Itu vila Lena…”
Katy berlari ke sana sebelum ucapan Mahendra selesai. Tiba di depan pintu, tangannya tak sabar mengetuk pintu kayu jati coklat tua yang penuh wibawa. Tepat ketika kaki Mahendra menginjak beranda, Om Piet muncul dari dalam.
“Katy!” Pelukan tangan Om Piet segera menenggelamkan tubuh mungilnya. “Ayo, masuk. Lena kangen padamu.”
O, Svetlana! Saya datang, pekiknya dalam hati. Tapi kegembiraannya terasa tidak nyaman. Entah mengapa. Berdua Mahendra, Katy mendaki tangga menuju kamar Lena. Katy ingin memeluk dan menciumi pipi si cantik itu habis-habisan.
Itu dia! Asyik benar mendengarkan Luluk Purwanto main biola. Pita kaset yang diputar itu tiada lagi yang memiliki selain Lena. Katy tak akan pernah lupa ketika Luluk memainkan biola hijaunya di atas kasur, di kamar Lena, di Jakarta. Dan mereka berdua menyimaknya dengan takjub. Menjaga keheningan yang diciptakan. Saat itu Lenamerekamnya. Sekian tahun kemudian, hari ini, Katy mendengarnya kembali. Pada waktu yang tepat. Ketika kangennya mencapai muara: pertemuan.
“Lena!” panggil Katy denga perasaan meletup-letup.
“Kamu bisa menebak siapa yang datang, kan?” tanya Mahendra, setengah menyerobot.
Mendadak Katy merasa darahnya tersirap. Ia tak kuasa mengusir kecemasan yang hadir tanpa diundang. Nampaknya ada yang tak beres, pikir Katy gundah. Membuat hatinya ragu-ragu. Diputuskannya untuk menunggu sampai Svetlana menoleh.
“Katy, engkaukah itu?” tanya Svetlana dengan nada gembira.
Katy masih tertegun melihat Sevetlana tidak beranjak dari tempatnya. Apa yang telah terjadi dengan sepasang kakinya?
“Mahendra, mana Katy?” Gadis itu berdiri perlahan-lahan. Kukuh dan tidak mencurigakan. Tapi…
Ya, Tuhan! Seketika air mata Katy turun berbulir-bulir. Telah diperolehnya sebuah jawaban. Ia menyongsong dan memeluk wajah Svetlana erat-erat. Diciumnya pipi cantik gadis itu dengan perasaan yang tak dapat dilukiskan.
“Kenapa kamu tidak menceritakannya, Lena?” bisik Katy dengan hati setengah hancur. “Apakah saya tidak boleh tahu?”
“Mahendra yang melarang.”
Katy menatap Mahendra dengan pandangan garang. Seakan-akan mengatakan: inikah kejutan yang ingin kamu bingkiskan untuk saya?
“Sejak kapan, sayang? Sejak kapan ini menimpamu?”
“Kamu masih ingat ketika suratmu mulai tidak saya balas?” tanya Svetlana.
Katy mengangguk tanpa sadar.
“Hanya kecelakaan kecil, Ka. Tapi telah membuat saya tak mampu melihat apa-apa lagi. Bagaimana mungkin saya menulis surat balasan untukmu?”
Terngiang di telinga Katy, ucapan-ucapan mereka dulu. Suatu saat, entah kapan, kita harus berkumpul lagi. Kini memang terjadi. Tetapi mengapa dalam suasana sekelam ini?
“Saya tidak sanggup membayangkan, bagaimana perasaanmu menerima musibah ini…”
“Saya sudah mulai dapat menerima, Ka. Kata Endra, tiada seorang pun yang hidup dengan kebahagiaan sempurna apabila duka yang datang tidak kita nikmati sebagai rahmat.” Svetlana tersenyum.
Mendengar itu, Katy tak ingin berpikir macam-macam lagi. Hanya dalam beberapa detik, hampir seluiruh teka-teki di hatinya terjawab. Ternyata sosok dan pribadi Mahendra telah tersimpan lebih banyak dalam jiwa Svetlana dibanding yang terdapat dalam genggamannya. Maka seperti sungai mengalir, perasaannya mengikuti apa yang dibingkiskan Tuhan kepadanya. Tak perlu lagi pertanyaan, tak perlu lagi jawaban, mata hatinya dapat melihat seluruh kejadian di balik perpisahan mereka yang panjang. O, c’est la vie! Ternyata pertemuan ada kalanya lebih menyedihkan daripada perpisahan.
Diamatinya punggung Mahendra yang menghias bingkai jendela. Di luarsana bintang-bintang gemerlapan, berkedip-kedip, seakan turut menghitung jumlah lembar catatan masa lalunya yang disobek satu per satu. Katy yakin, Mahendra memandang pentas cahaya langit itu dengan kaca-kaca air di pelupuk mata.
“Apa yang kamu pikirkan saat ini, Lena?” tanya Katy sambil mencium matanya.
“Saya tidak berpikir apa-apa. Saya sedang bahagia. Ternyata kita dapat bertemu kembali, sebagaimana janji kita dulu.”
Syukurlah, gumam Katy. Ia melangkah ke jendela. Menghirup semilir angin gunung yang dingin. Tiga ribu kaki di atas Bandung, menyaksikan titik-titik sinar yang menempuh usia malam. Apakah cinta harus selesai di sini? Katy meratap dalam hati. Membagi jeritan jiwanya dengan memandang kelap-kelip ribuan lampu di kejauhan. Kabut amat tipis, melayang di antara gerimis yang jatuh seperti debu.
Katy merasakan genggaman hangat tangan Mahendra. Tapi sudah tidak menjanjikan apa-apa, kecuali sebagai permulaan dongeng tentang hati yang sepi. Ia gemetar menyadari kenyataan itu.
“Lena!” panggil Mahendra tiba-tiba. Ditinggalkannya jendela. “Masihkah kamu simpan surat-surat Katy untuk saya?”
“Kamu ingin membacanya sekarang?” tanya Svetlana gembira. Penuh ketulusan. Sepertinya, saat-saat yang paling dia nantikan.
“Ya. Saya ingin membacanya bersama Katy. Di sini.” Mahendra menatap dalam-dalam bola mata Katy, sebelum meraih tangannya menuju perapian.
Katy mengerti. Mahendra hendak menguburkan semua sejarah dengan cara yang paling masuk akal. Sementara hati Katy berbuat sebaliknya. Ia berniat mengenangnya, sampai hatinya tak mampu lagi mengingat nama-nama hari.
Dan Katy tidak mengatakan apa-apa ketika akhirnya Mahendra menyelesaikan sejumlah harapan dan kerinduannya – yang tersimpan bertahun-tahun – dengan unggun yang menyala. Setiap lembar suratKaty, dari tanggal ke tanggal, terbakar dan menyerpih jadi abu beberapa detik setelah kalimat terakhir selesai mereka baca. Semuanya. Ya, semuanya!

***
(Untuk: Mirta dan Katyusha)

(Dimuat sebagai cover  story di Kumpulan Cerpen Anita Cemerlang, 1986)

0 komentar:

Posting Komentar

Apakah menurut anda postingan ini menarik? silahkan bagikan..

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...