Kini kita saling berpandangan
saudara.
Ragu-ragu apa pula,
kita memang pernah berjumpa.
Sambil berdiri di ambang
pintu kereta api,
tergencet oleh penumpang
berjubel,
Dari Yogya ke Jakarta ,
aku melihat kamu tidur di
kolong bangku,
dengan alas kertas koran,
sambil memeluk satu anakmu,
sementara istrimu meneteki
bayinya,
terbaring di sebelahmu.
Pernah pula kita satu truk,
duduk di atas kobis-kobis
berbau sampah,
sambil meremasi tetek
tengkulak sayur,
dan lalu sama-sama kaget,
ketika truk tiba-tiba
terhenti
kerna distop oleh polisi,
yang menarik pungutan tidak
resmi.
Ya, saudara, kita sudah
sering berjumpa,
kerna sama-sama anak jalan
raya.
…………………............
Hidup macam apa ini !
Orang-orang dipindah kesana
ke mari.
Bukan dari tujuan ke tujuan.
Tapi dari keadaan ke keadaan
yang tanpa perubahan.
………….............
Kini kita bersandingan,
saudara.
Kamu kenal bau bajuku.
Jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Waktu itu hujan rinai.
Aku menarik sehelai plastik
dari tong sampah
tepat pada waktu kamu juga
menariknya.
Kita saling berpandangan.
Kamu menggendong anak kecil
di punggungmu.
Aku membuka mulut,
hendak berkata sesuatu……
Tak sempat !
Lebih dulu tinjumu melayang
ke daguku…..
Dalam pandangan mata
berkunang-kunang,
aku melihat kamu
membawa helaian plastik itu
ke satu gubuk karton.
Kamu lapiskan ke atap
gubugmu,
dan lalu kamu masuk dengan
anakmu…..
Sebungkus nasi yang dicuri,
itulah santapan.
Kolong kios buku di terminal
itulah peraduan.
Ya, saudara-saudara, kita
sama-sama kenal ini,
karena kita anak jadah bangsa
yang mulia.
…………..........
Hidup macam apa hidup ini.
Di taman yang gelap orang
menjual badan,
agar mulutnya tersumpal
makan.
Di hotel yang mewah istri
guru menjual badan
agar pantatnya diganjal
sedan.
……...........
Duabelas pasang payudara
gemerlapan,
bertatahkan intan permata di
sekitar putingnya.
Dan di bawah semuanya,
celana dalam sutera warna
kesumba.
Ya, saudara,
Kita sama-sama tertawa
mengenang ini semua.
Ragu-ragu apa pula
kita memang pernah berjumpa.
Kita telah menyaksikan,
betapa para pembesar
menjilati selangkang wanita,
sambil kepalanya diguyur
anggur.
Ya, kita sama-sama germo,
yang menjahitkan jas di
Singapura
mencat rambut di pangkuan
bintang film,
main golf, main mahyong,
dan makan kepiting saus tiram
di restoran terhormat.
…….....
Hidup dalam khayalan,
hidup dalam kenyataan……
tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
dan kenyataan dikhayalkan,
di dalam peradaban
fatamorgana.
……….
Ayo, jangan lagi sangsi,
kamu kenal suara batukku.
Kamu lihat lagi gayaku
meludah di trotoar.
Ya, memang aku. Temanmu dulu.
Kita telah sama-sama mencuri
mobil ayahmu
bergiliran meniduri
gula-gulanya,
dan mengintip ibumu main
serong
dengan ajudan ayahmu.
Kita telah sama-sama beli
morphin dari guru kita.
Menenggak valium yang
disediakan oleh dokter untuk ibumu,
dan akhirnya menggeletak di
emper tiko,
di samping kere di Malioboro.
Kita alami semua ini,
kerna kita putra-putra dewa
di dalam masyarakat kita.
…..
Hidup melayang-layang.
Selangit,
melayang-layang.
Kekuasaan mendukung kita
serupa ganja…..
meninggi…. Ke awan……
Peraturan dan hukuman,
kitalah yang empunya.
Kita tulis dengan keringat di
ketiak,
di atas sol sepatu kita.
Kitalah gelandangan kaya,
yang perlu meyakinkan diri
dengan pembunuhan.
…........
Saudara-saudara, kita
sekarang berjabatan.
Kini kita bertemu lagi.
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Bukankah tadi telah kamu
kenal
betapa derap langkahku ?
Kita dulu pernah menyetop
lalu lintas,
membakari mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju,
berdemonstrasi.
Kita telah sama-sama
merancang strategi
di panti pijit dan restoran.
Dengan arloji emas,
secara teliti kita susun
jadwal waktu.
Bergadang, berunding di larut
kelam,
sambil mendekap hostess di
kelab malam.
Kerna begitulah gaya pemuda harapan
bangsa.
Politik adalah cara merampok
dunia.
Politk adalah cara
menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran
berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya
tingkat kehidupan.
dari becak ke taksi, dari
taksi ke sedan pribadi
lalu ke mobil sport, lalu :
helikopter !
Politik adalah festival dan
pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan
kesenian.
Dan bila ada orang banyak
bacot,
kita cap ia sok pahlawan.
…..........................
Dimanakah kunang-kunag di
malam hari ?
Dimanakah trompah kayu di
muka pintu ?
Di hari-hari yang berat,
aku cari kacamataku,
dan tidak ketemu.
……............
Ya, inilah aku ini !
Jangan lagi sangsi !
Inilah bau ketiakku.
Inilah suara batukku.
Kamu telah menjamahku,
jangan lagi kamu ragau.
Kita telah sama-sama berdiri
di sini,
melihat bianglala berubah
menjadi lidah-lidah api,
gunung yang kelabu membara,
kapal terbang pribadi di
antara mega-mega meneteskan air mani
di putar blue-film di
dalamnya.
…………………
Kekayaan melimpah.
Kemiskinan melimpah.
Darah melimpah.
Ludah menyembur dan melimpah.
Waktu melanda dan melimpah.
Lalu muncullah banjir suara.
Suara-suara di kolong meja.
Suara-suara di dalam lacu.
Suara-suara di dalam pici.
Dan akhirnya
dunia terbakar oleh
tatawarna,
Warna-warna nilon dan
plastik.
Warna-warna seribu warna.
Tidak luntur semuanya.
Ya, kita telah sama-sama
menjadi saksi
dari suatu kejadian,
yang kita tidak tahu apa-apa,
namun lahir dari perbuatan
kita.
Potret Pembangunan dalam
Puisi
0 komentar:
Posting Komentar