Saya baru saja menyelesaikan naskah lakon
“Presiden Kita Tercinta”. Lumayan menyita waktu saya proses penulisan drama
itu, tentu di samping kesibukan saya yang lain, hingga blog ini agak
terbengkalai. Lakon ini, rencananya, akan dipentaskan tahun 2009 nanti.
Kisahnya seputar penggulingan seorang Presiden, dan kemudian terjadi kesibukan
untuk mencari penggantinya. Siapa yang tepat jadi Presiden? Begitulah,
intrik-intrik pun terjadi. Untuk pemanasan, saya turunkan bagian dari lakon itu.
Bagian ketika proses pemilihan Presiden itu berlangsung dalam kemeriahan. Ini
dia petilannya.
Sekeping Koin Wasiat
Ada kain terjuntai, menandai halaman
belakang Istana Kepresidenan. Pada kain itu, tampak silhuet bayangan Kolonel
Kalawa Mepaki yang sedang berlatih pedang, bermain anggar, dengan gerakan yang
lincah, meski kakinya pincang. Ia begitu gesit memainkan pedangnya, seakan
bertarung dengan musuh yang tak kelihatan.
Tuan Pitaya Mentala mengawasi, berdiri
di dekat Lalita Maningka yang duduk dibawah naungan payung – semacam payung
kebesaran yang indah – yang dipegangi seorang prajurit. Prajurit pembawa payung
ini, nantinya akan selalu mengambil posisi memayungi Lalita Maningka, kemana
pun ia bergerak.
Tuan Pitaya Mentala, “Dasar bahlul… Setiap hari ente berlatih,
seakan-akan setiap saat musuh akan menikam ente dari balik kegelapan…”
Kolonel Kalawa Mepaki, “Musuh selalu berbahaya, karena ia bahkan bisa menyamar sebagai
orang yang paling dekat.”
Tuan Pitaya Mentala, “Tapi kan
ane sohib ente. Tidak mungkinlah kalau ane…”
Tiba-tiba Kolonel Kalawa keluar dari
balik kain itu, dan langsung mengarahkan ujung pedangnya tepat di depan wajah
Tuan Mitaya, membuat Tuan Pitaya langsung menghentikan ucapannya.
Kolonel Kalawa Mepaki, “Kita lihat saja… Ambil pedang Anda, Tuan Pitaya…”
Tuan Pitaya Mentala mencoba bersikap
tenang, mencoba menghindar.
Selengkapnya, download disini
0 komentar:
Posting Komentar