Aku Seorang Pelacur


Lelaki itu masih muda, umurnya sekitar 20 an, tubuhnya kurus tinggi dengan muka oval dan berambut gondrong. Celana jeannya robek di lutut, dan jaket kulit hitam yang melekat di pundaknya akan lebih menjelaskan bahwa ia seorang pengangguran. Wajahnya kusam, ulah knalpot-knalpot kendaraan yang semakin memadati kota ini. Ya! kota ini, dimana gedung-gedung berlomba-lomba mencakar langit. Sederetan mobil mewah hilir mudik di area parkir mall, pria-pria berjas dan berdasi yang keluar masuk kantor tanpa melirik sedikitpun pada ibu-ibu tua dengan kaleng kecil yang tengah duduk mengadu nasib di bibir trotoar, demi sesuap nasi.  Kemuakan lelaki itu semakin menjadi, ia berada dalam kota besar yang congkak. Keramaian malah mengasingkannya dari hidup. Karna kehidupan baginya adalah sesuatu dimana segalanya saling menjaga, imbang, dan saling melengkapi. Bukan yang sedang terpajang di depan matanya kini. Keserakahan menjadi budaya, orang-orang miskin tersingkir dari peradaban. Lalu, untuk apa melebeli diri “makhluk sosial”, bila pada kenyataannya teori-teori yang dipublikasikan ke sana-sini tak lebih dari sebuah angan-angan yang telah kadaluwarsa, tanpa bukti.

Ia datang dari desa. Semenjak rumahnya diratakan dengan tanah, dan kedua orangtuanya jatuh sakit. Ia pergi ke kota. Namun, ijasah SMA tidak cukup mampu memberikan nasib yang baik padanya. Hidup di kota adalah pertarungan melawan barisan rumpun keserakahan yang selalu membungkus diri dengan nektar-nektar manis penuh kepalsuan! Kini setiap malam, kerjanya mabuk bersama pengamen-pengamen di terminal. Entah bagaimana nasib orang tuanya di desa, yang jelas ia selalu menjauhkan pikirannya dari bayangan, bahkan nama orangtuanya. Karena bila teringat, mungkin dua mata air akan menetes dari pupil matanya. Mata yang merah dan lebam dengan bola yang hampir keluar karena seringnya mengkonsumsi obat-obatan. Namun dalam keadaan seperti itu, siapa yang tahu, bahwa manusia bukanlah makhluk yang tiba-tiba muncul dengan sendirinya di dunia ini.

Pekerjaan tetapnya kini adalah mencopet. Lelaki itu benar-benar tak peduli lagi. Percuma dirinya bersih, bila disekitarnya masih banyak tangan-tangan kotor yang suka merampas hak rakyat, tamak, rakus, bahkan aspal pun ikut dikunyah. Sangat memuakkan. Peduli apa?, agama pun sudah benar-benar dilupakannya, penderitaan membawanya pada labirin kehidupan yang gelap dan kotor. Sebelum pada akhirnya ia tiba pada suatu malam, sepulangnya dari lokalisasi pinggiran kota.

Ia berjalan seorang diri, ditengah cengkraman sepi yang entah itu hari apa, pukul berapa. Ia tak tau, bahkan mungkin tak akan pernah tau. Karena lelaki itu sudah melupakan waktu, atau mungkin waktu yang melupakannya. Langkah demi langkah, matanya terhenti pada sobekan kertas di tepi selokan. Kertas berwarna merah, selembar sampul buku dengan judul yang sangat mencolok, di pungutnya kertas itu. “Aku Seorang Pelacur”, begitulah tulisan yang tertera. Lelaki itu tersentak. Kesadarannya terguncang. Bibirnya gemetar. Tiba-tiba kedua wajah orangtuanya terlintas. dihisap dalam-dalam kretek miliknya, air matanya meleleh, “ya, aku sorang pelacur..”

Aku kecewa. Terhenti disitu. Lembar selanjutnya hilang. Kutemukan majalah ini di rak tua sebuah perpustakaan. Pelajaran berharga, Setidaknya untukku sendiri. Terkadang memang, ketika kebahagiaan sedang asik membalut diri, kelarutan akan terjadi. Tanpa sadar kita akan menggadaikan apapun. Lupa segalanya, tak peduli apapun. Iya! apapun, termasuk Tuhan. Dan saat itu juga, bukankah sebenarnya kita sudah menjadi pelacur?  


Muhammad Dihlyz
7 Desember 2012

0 komentar:

Posting Komentar

Apakah menurut anda postingan ini menarik? silahkan bagikan..

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...