Kepada : Entah



Ya, entah. Kepada,mengapa dan untuk siapa aku menulis ini.

Entah. aku tak pernah mengerti, kemelut apa yang berkobar dalam topimu. Entah,suara apa yang meniup daun telingamu. Setelah berapa dekade,Entah. Guratanguratan di keningmu menjelma prasasti. Diabadikan waktu, dalam pelukan erat detik jarum jam.



Dalam senja, Entah.
Saat siluet sibuk berdandan kembali. Karna beberapa detik lalu hujan melunturkan make up nya.
Saat mega mulai bertebaran, melukis langit dengan warna jingga.
Mereka bertanya tentang keberadaan bidadari mungil, yang namanya selalu kusisipkan dalam perbincanganku dengan Tuhan.
iya, Entah! kau mungkin tak percaya, tapi mereka benar benar menanyakanmu. Lalu aku ? menatap sekeliling, dengan pandangan sesak dan ke-haruan yang hampir tumpah, bingung hendak berkata apa. Aku diam saja. Kucari jawaban pada perdu yang melambailambai digoda angin. Pada dedaunan basah.Nihil! tidak satu jawabpun yang kutemukan.
Sebelum akhirnya, pandanganku tersita oleh dua ekor pipit yang sedang asik berdansa di langit sore. Desiran hangat mulai mengisi rongga dadaku.
"Kaukah itu, Entah?"

Entah, pernah kutemukan diriku berjalan di sepanjang aspal basah, dimana dulu kita saling berbincang tentang waktu dan jarak. Kesepian sudah mendapatkanku seutuhnya. Aku terus melangkah, keluar masuk kota. Dengan membawa sepercik lekung bulan sabit yang terbit dari bibir tipismu. Hingga suatu ketika, keanehan menyergap dan menyeretku ke sebuah tempat,tempat yang asing bagiku. Dan kudapati di peta, bahwa Bandung menamainya sebagai, Braga.

Sepanjang Braga, kita bersama. Menelusuri ruas ruas dan bibir jalanan. Nyaris tidak ada masalah. Selain gaun putih yang kau kenakan itu. Ia sedikit mempersulit langkahmu. Baru beberapa jangka, wajah langit berubah pucat. Langit bergemuruh,berteriak. Kakikaki hujan yang runcing hinggap di keningmu. Dalam sekejap saja, keseluruhan kota menjadi basah. Aku tertegun, apakah hujan benarbenar masih ingin bersahabat denganku? atau hanya ingin menggoda dan meniupkan angin nostalgia?

"Entah, kau masih suka hujan"?
kau hanya membalas dengan senyuman.
"Entah, kau masih suka hujan"?. tanyaku lagi.
"Apa kau masih butuh jawaban? sudahlah,ayo lekas. pesta kita sudah tiba"

Usai percakapan itu, ingatanku hilang. Aku tidak ingat lagi sedang berada dimana, dan untuk apa. Aku tak tau dan mungkin tak akan pernah tau. Satusatunya kesempatanku bertanya padamu telah lenyap, ketika kokok ayam membangunkan manusia dari mimpi lelap mereka.

Mungkin itu hanya dampak keliaran alam imajinasi. Begitu rindu aku padamu, sangat rindu.
hingga jari jari fatamorgana menyekapku dalam dimensi yang disebut sebagai mimpi, dimensi dimana semuanya serba tidak terduga,tibatiba, bahkan mustahil! tapi tidak apa Entah, sekalipun itu hanya bunga tidur. Aku sangat bahagia.
karna hanya dalam mimpi, aku bisa memilikimu.

Sepeninggalanmu, aku lebih peka memaknai arti senja. Melarutkan diri dalam proses tergelincirnya matahari. Sembari menghitung hitung berapa kali aku kalah bergulat dengan sepi. Sesekali deru angin dari arah barat membawa kabar tentang pergantian musim.
kusadari, kini kita sudah kehilangan ruang untuk berkomunikasi. Karna jarak bukanlah lagi hantu yang dapat dikalahkan dengan tekat dan keyakinan. Jarak adalah kebisuanmu yang sampai saat ini tak sanggup aku terjemahkan.

Entah, kau tau? seringkali aku bersumpah untuk tidak lagi menulis sajaksajak cengeng tentang cinta. Namun selalu kuingkari janjijanji itu. Karna disini aku sangat kesepian, apakah ada tempat leluasa untukku berbagi kisah selain pada selembar kertas? mungkin kertas sama bisunya dengan dinding, sama angkuhnya dengan batu. Tapi kertas adalah benda yang setia, dan bersungguh sungguh. Buktinya, ia selalu basah setelah aku selesai bercerita.

Kau pasti berpikir aku menangis ?
iya, aku memang menangis. Aku tidak akan malu mengakuinya. Permasalahannya bukan terletak pada setegar beton atau selembek agaragar. Bukan pada purapura tegar, atau terlalu lembek. Kalau itu, iblis pun bisa. Jangankan aku, bukankah bajingan kelas kakap pun akan merasa seutuhnya manusia, ketika mereka meneteskan air mata?

yah ! Entah, kehilangan kau adalah teguran yang nyata bagiku.
Mungkin Tuhan cemburu,
aku kelewat batas mencintaimu.



3 Juli 2012
di ujung selembar senja

0 komentar:

Posting Komentar

Apakah menurut anda postingan ini menarik? silahkan bagikan..

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...